SLEMAN—Panitia Khusus (Pansus) I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sleman tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Raperda inisiasi DPRD Sleman ini bertujuan untuk mengembangkan potensi BKM yang ada di wilayah Bumi Sembada dan mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan pemerintah.
Ketua Pansus I Raperda BKM DPRD Sleman, Budi Sanyata, mengatakan BKM merupakan lembaga yang berada di tingkat kalurahan, dan menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan/Perdesaan.
Saat ini, katanya, jumlah BKM yang terdaftar di wilayah Sleman mencapai 75 unit dan tersebar di 86 kalurahan di Sleman. BKM adalah kelembagaan masyarakat di tingkat kelurahan yang dirancang untuk membangun kembali masyarakat mandiri agar mampu mengatasi kemiskinan dan bertanggung jawab menjamin keterlibatan unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan yang kondusif untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat.
Keberadaan BKM di kelurahan merupakan institusi lokal yang terbentuk dari, oleh dan untuk masyarakat serta memiliki peranan yang strategis dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Hanya, kata Budi, meski keberadaan BKM selama ini cukup mampu memenuhi kebutuhan masyarakat hal yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana program dan kegiatan BKM bisa terus berjalan. Dengan demikian, dibutuhkan payung hukum untuk memenuhinya.
“Tidak adanya pendamping untuk BKM berdampak pada eksistensi program-program yang dicanangkan lembaga tersebut. Nah, kami berharap dengan Perda ini menjadi tugas pemerintah kabupaten [Pemkab] bisa melakukan penguatan terhadap keberadaan BKM,” ujarnya, Senin (10/6/2024).
Dijelaskan politikus PDI Perjuangan ini, dari 75 BKM yang ada di Kabupaten Sleman nilai aset yang dikelola antara Rp40 miliar-Rp50 miliar. Dengan nilai pengelolaan aset yang cukup besar itu, dibutuhkan langkah yang baik agar semua aset tersebut tetap terjaga dan berjalan dengan baik. Termasuk ikut membantu pengentasan kemiskinan di Sleman.
“Raperda ini perlu dibahas. Tidak hanya bertujuan menyelamatkan aset BKM tetapi juga menguatkan peran BKM dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana Pemkab bisa menyelamatkan sumber daya manusianya [SDM], asetnya dan nilai-nilai gotong royongnya yang terbentuk selama program itu berjalan,” katanya.
Budi mengatakan Raperda BKM ini nantinya menjadi landasan hukum yang pasti dan menjadi acuan berjalannya BKM. Diakuinya, dari 75 BKM yang ada tidak semua aktif karena adanya kekhawatiran pengelola. Mereka khawatir program dan kegiatan yang dijalankan tidak sesuai aturan sehingga Perda BKM mendesak disahkan. Jika sebelumnya program BKM berasal dari program PNPM Mandiri perkotaan/perdesaan ke depan dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga badan usaha milik kalurahan (BUMKal). “Jadi tetap akan menjadi mitra bagi Pemerintah Kalurahan dan statusnya bukan BUMKal,” ujarnya.
Ia juga berharap pendamping program PNPM Mandiri tersebut tidak serta merta dialihkan menjadi pendamping program BKM ini. Para pendamping harus melalui kajian sesuai kebutuhannya. Selama ini pendamping program PNPM Mandiri bersifat independen dan diberikan honor dari Pemerintah Pusat. “Jika pendampingan program PNPM Mandiri langsung dialihkan ke BKM, maka pemerintah kabupaten harus mengeluarkan anggaran untuk honor para pendamping. Untuk pendampingan BKM saya kira cukup dari OPD yang ditunjuk saja,” katanya.
Ia optimistis pembahasan Raperda BKM selesai sesuai target dan tahapan yang sudah ditetapkan. Sejumlah pertemuan sudah dilakukan untuk membahas secara intensif Raperda tersebut. “Ya saya rasa dua sampai tiga kali pertemuannya sudah rampung dan siap disahkan menjadi Perda. Sebab Raperda ini sangat penting dan dibutuhkan,” katanya. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News