Sport

Prodi Sejarah USD Mengangkat ‘Wong Cilik’ sebagai Subjek Sejarah melalui Bedah Buku ‘Ratu Adil’ Karya G.P. Sindhunata SJ

×

Prodi Sejarah USD Mengangkat ‘Wong Cilik’ sebagai Subjek Sejarah melalui Bedah Buku ‘Ratu Adil’ Karya G.P. Sindhunata SJ

Sebarkan artikel ini



JOGJA—Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD) mengadakan bedah buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik yang ditulis Sindhunata, SJ di Ruang Kadarman, Gedung Pusat Kampus II USD, Senin (3/6/2024).

Kegiatan bedah buku yang bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Lilik Suharmaji (penulis Sejarah dan mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga), Dr. Fransisca Tjandrasih Adji (dosen Program Studi Sastra Indonesia USD), dan Dr. theol. Dionius Bismoko Mahamboro, Pr (dosen Program Studi Filsafat Keilahian, USD). Dr. Sindhunata SJ sebagai penulis buku, turut hadir memberi tanggapan atas pembahasan dari para pembicara.

Dalam paparannya Lilik Suharmaji menekankan pentingnya historiografi yang mengangkat wong cilik yang selama ini ditinggalkan. Ia mengapresiasi yang ditulis pada bab-bab awal buku ini tentang peristiwa-peristiwa penting sejarah perlawanan rakyat kecil terhadap kolonialisme, seperti Perang Jawa, perlawanan Kyai Kasan Mukmin, gerakan Samin, perlawanan Sarekat Islam dan Kekristenan, dan sebagainya. Secara khusus, ia menyoroti Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Dipanagara, yang merupakan perjuangan para petani sederhana dengan senjata apa adanya.

“Para petani menggunakan ketapel, pentungan, sabit, cangkul, parang, bambu runjing, dan alat-alat lainnya sebagai senjata. Dalam Perang Jawa, Dipanagara melakukan strategi perang bersama para petani seperti merobohkan pohon agar jalan terhalang, membakar jerami dan kayu, menggali tanah untuk menghalangi jalan sehingga pasukan Belanda kesulitan untuk meminta bantuan,” terangnya.

Pembicara kedua, Fransisca Tjandrasih Adji yang selama ini menekuni kajian kesusastraan Jawa, membahas konteks Jangka Jayabaya atau yang dikenal sebagai Ramalan Jayabaya.

“Pemangku Ramalan Jayabaya adalah rakyat pedesaan, para petani, dan mereka yang nir aksara. Ada beberapa versi yang dikenal sebagai Ramalan Jayabaya, namun di dalamnya tersaji kesamaan yang kuat mengenai konsep Ratu Adil. Dalam beberapa teks, seperti Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa, Babada Tanah Jawi, Serat Aji Pamasa, dan Babad Kadhiri, bahwa konsep Ratu Adil berciri profetik yang menampilkan figur yang memberi nubuat masa depan, mesianis yang mampu membebaskan dari penderitaan, dan milenaris yang mengharap zaman baru dan keemasan,” ujarnya.

BACA JUGA: Seminar Ilmiah Universitas Sanata Dharma, Masyarakat Kompeten Jadi Kunci Majunya Demokrasi

BACA JUGA: Info Lengkap Biaya Kuliah Universitas Sanata Dharma Tahun 2024 dan Prodi Unggulannya

Sementara pembicara ketiga, Bismoko Mahamboro Pr, menekankan masifnya gerakan-gerakan kecil di tengah masyarakat yang menginspirasi gerakan-gerakan besar. Romo Bismoko menunjukkan bahwa perjuangan orang-orang kecil merupakan perjuangan eksistensial yang didasari oleh harapan, bukan optimisme.

“Harapan berbeda dengan optimisme. Optimisme merupakan keyakinan bahwa di hari depan akan berhasil berdasarkan kalkulasi modal yang dimiliki. Harapan melampaui apa yang ada dalam perhitungan rasional. Apa yang dilakukan oleh Romo Sindhu memaknai perjuangan wong cilik ini adalah sebuah filsafat dan teologi harapan,” tuturnya.

Pemaparan dari ketiga narasumber ini dilanjutkan dengan tanggapan penulis buku, Sindhunata, SJ. Romo Sindhu menceritakan usahanya dalam meneliti wong cilik sebagai bahan disertasi doktoralnya di Jerman hingga akhirnya ia terjemahkan dalam buku ini. Ia menuturkan bahwa sangat sulit untuk menceritakan sejarah orang kecil karena mereka tidak meninggalkan arsip, dokumen atau tulisan.

“Kita meneliti begitu banyak, bicara begitu banyak, belajar begitu banyak, tetapi ketika dihadapkan pada sejarah orang kecil, kita bungkam….Untuk menghidupkan orang kecil dalam pertanggungjawaban ilmiah tidaklah mudah. Buku ini saya sebut buku wong cilik yang saya dasari dari pengalaman jurnalistik saya,” ungkapnya.

Romo Sindhu juga menceritakan bagaimana ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat dalam bahasa Jerman untuk menggambarkan kemarahan dan pergulatan wong cilik.

Pemaparan dari narasumber dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Heri Setyawan, SJ., S.S., M.A. (Prodi Sejarah USD) ini hadir pula anggota dari AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) DIY, HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) Komisariat Universitas Sanata Dharma, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) DIY, dan beberapa lembaga penelitian di Yogyakarta. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *