Sport

Penyidikan Advokat LBH Jogja Meila Nurul Fajriah di Kasus Pencemaran Nama Baik Resmi Dihentikan

×

Penyidikan Advokat LBH Jogja Meila Nurul Fajriah di Kasus Pencemaran Nama Baik Resmi Dihentikan

Sebarkan artikel ini



Cerp-lechapus.net, SLEMAN — Proses penyidikan kasus dugaan pencemaran nama baik yang menimpa advokat LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah resmi dihentikan oleh Ditreskrimsus Polda DIY. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan pada Jumat (2/8/2024) lalu tak lepas dari adanya bukti baru atau novum yang didapatkan oleh pihak kepolisian. 

Meila merupakan advokat LBH Yogyakarta yang pada 2020 lalu mendampingi sejumlah korban dugaan kekerasan seksual yang terjadi di salah satu kampus di Sleman. Akan tetapi Meila yang disebut menyebut nama terang terduga pelaku lantas dilaporkan atas dugaan tindak pencemaran nama baik oleh IM.

Semula Meila sempat ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus pencemaran nama baik. Penetapan ini berdasarkan keterangan para saksi, keterangan ahli dan barang bukti yang dibawa pelapor berupa link media YouTube.

“Di situ ada potongan-potongan perkataan sehingga ketersesuainnya itu lah sesuai dengan laporannya adalah pencemaran nama baik, pada saat sebelumnya kita tetapkan tersangka oleh perkara yang dilaporkan oleh saudara IM,” jelas Dirreskrimsus Polda DIY, Kombes Pol Idham Mahdi ditemui pada Rabu (7/8/2024) di Polda DIY.

Akan tetapi mengacu pada penyidikan secara progresif, polisi berupaya mencari kebenaran adanya dugaan peristiwa kekerasan seksual ini. Dugaan peristiwa seksual yang membuat LBH melakukan kegiatan advokasi kepada korban. 

“Alhamdulillahnya kita menemukan novum baru dan novum baru ini lah kita tentukan bahwa ternyata ada peristiwa KS kekerasan seksual di salah satu kampus,” tegasnya. 

Barang bukti yang berhasil didapatkan petugas kepolisian ini berupa keterangan saksi yang didapat dari dosen yang pada saat itu mengadvokasi korban dugaan kasus kekerasan seksual. Selain itu ada pula bukti berita acara yang ditanda tangani oleh korban. Dua bukti tersebut selanjutnya dijadikan novum oleh kepolisian dan telah dimintakan penetapan penyitaan ke pengadilan.

Adapun berita acara yang dijadikan dalam bukti oleh polisi yakni berita acara pada saat advokasi oleh pihak kampus via zoom meeting. Percakapan dalam pertemuan daring tersebut lantas dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani para penyintas. 

“Berita acara itu adalah berita acara pada saat kampus mengadvokasi melalui Zoom Meeting. Zoom Meeting itu dipimpin oleh salah satu badan yang dibentuk oleh kampus terkait pendampingan kemudian di situ ada percakapan kemudian dituangkan dalam berita acara dan para penyintas penyintas ini membubuhkan tanda tangannya,” tegasnya.

BACA JUGA: LSJ FH UGM Nilai Kasus Meila Nurul Fajriah Tak Layak Dilanjutkan

Data yang diberikan oleh pihak kampus membuat perkara ini kata Idham menjadi terang. Berbekal data tersebut polisi lantas melakukan gelar perkara dan menyimpulkan dugaan kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan IM dinyatakan SP3.

“Dari hasil itu kita lakukan gelar perkara kemudian kita simpulkan bahwa peristiwa ini kita SP3 untuk terkait laporan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh IM,” tandas Idham.

Alat bukti berupa keterangan dosen dan berita acara tersebut sebelumnya tidak diperoleh polisi saat penyelidikan awal. Bukti baru tersebut baru diperoleh sekitar dua pekan lalu.

Adanya novum atau alat bukti baru tersebut juga membuat polisi menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan Meila merupakan bagian dari kegiatan advokasi. Hal ini diperkuat dari pandangan ahli pidana dan ahli pidana ITE. 

“Setelah kami dalami, setelah kami mencari saksi-saksi kemudian kita dapatkan berita acara, kemudian kami simpulkan kita tetap bahwa peristiwa itu ada dan itu memang bagian dari ada kegiatan advokasi,” tegasnya. 

Dugaan pencemaran nama baik dengan media ITE ini bermula pada tahun 2020 berdasarkan adanya surat pengaduan dari pelapor atas nama IM. Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2020 dilakukan penelitian yang berkoordinasi dengan ahli bahasa.

Pada tanggal 21 Desember 2021 kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan karena telah ditemukan peristiwa pidana yang dilaporkan oleh IM. Seiring bergulirnya waktu, hasil penyidikan dan pemeriksaan tambahan kemudian menetapkan Meila sebagai tersangka pada Juni 2024 atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU. No. 19/2015 tentang perubahan atas UU. No.11/2017 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Pekan lalu Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) juga menyampaikan sejumlah pandangan hukumnya sekaligus rekomendasi terhadap penanganan kasus hukum yang menimpa Meila.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan ada 10 poin pandangan hukum yang disampaikan LSJ FH UGM berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik yang disangkakan kepada Meila. Herlambang menyebut kasus yang disangkakan kepada pendamping korban tindak pidana kekerasan seksual ini tak layak diteruskan. 

“Saya kira kasus ini enggak layak ya diteruskan dalam proses hukum ya. Diargumen ini ada 10 landasan tentang mengapa tidak layak kasus itu diteruskan,” tegas Herlambang.

Dalam salah satu poinnya, penetapan tersangka kepada pendamping korban seksual sangat potensial menjadi pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan. Padahal hal tersebut adalah hak bagi setiap orang, tanpa diskriminasi untuk mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana untuk memperoleh putusan adil dan benar. 

BACA JUGA: Kriminalisasi Advokat LBH Yogyakarta: Kuasa Hukum IM Sebut Tersangka Tak Bisa Pakai Hak Imunitas

Penetapan tersangka terhadap pendamping korban kekerasan seksual lanjut Hermawan akan merintangi upaya korban untuk memperoleh keadilan, sehingga korban pun kian sulit mendapatkan pemulihan yang efektif atau effective remedy.

LSJ FH UGM juga menjelaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU ITE (UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya dalam pasal pencemaran nama baik, secara hukum memberikan syarat yang demikian ketat nan terbatas, dituangkan dalam SKB/Surat Keputusan Bersama implementasi UU ITE.

 Dalam SKB dinyatakan, bahwa ketika orang menyampaikan fakta terlebih berkaitan dengan kepentingan umum, terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Terlebih, apa yang dilakukan Meila dinilai Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM legitimate sebagai kuasa hukum atau pendamping hukum korban yang dilindungi Undang-Undang Bantuan Hukum.

Selain itu berdasarkan Putusan MK Nomor: 50/PUU-VI/2008 tahun 2008, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Kriminalisasi terhadap pendamping korban disebut Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM menjadi bentuk serangan nyata terhadap korban dan pendampingnya bila dikaitkan dengan perkembangan hukum yang merujuk pada Pasal 28 jo Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur tegas. Bila dipahami cermat, ketentuan tersebut mengatur bahwa terdapat hak pendamping korban untuk mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan. 

 Upaya pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pendamping hukum bagi korban kekerasan seksual, yang pula merupakan pengacara publik pada LBH Yogyakarta dianggap Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM telah menjadi serangan terhadap independensi advokat sebagai penegak hukum yang dijamin imunitasnya (vidé: Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).  Bila kasus ini diteruskan masa sama halnya dengan upaya mengancam bagi organisasi bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum yang dijamin hak imunitasnya. 

“Karena kriminalisasi itu akan lebih memiliki dampak pembungkaman terhadap upaya-upaya pembelaan secara kritis dari para-para lawyer atau pendamping hukum kasus korban kekerasan seksual ataupun kasus pembela asasi manusia yang lain,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *