Sport

OPINI: Rantai Pasok Kurban

×

OPINI: Rantai Pasok Kurban

Sebarkan artikel ini



Setiap momen Iduladha, persoalan rantai pasok (supply chain) hewan kurban selalu muncul setiap tahunnya. Meski pun daging kurban berpotensi meningkatkan asupan gizi dan kesehatan masyarakat kurang mampu, pendistribusiannya justru menghadapi kendala ketidakmerataan.

Kesenjangan distribusi sangat terlihat antara wilayah perkotaan besar di Pulau Jawa dengan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Ketimpangan ini menyebabkan kelompok masyarakat termiskin di banyak wilayah kesulitan mengakses sumber protein hewani. Padahal, daerah-daerah prioritas intervensi gizi melalui kurban sudah ditetapkan dan didominasi oleh daerah luar Jawa dengan karakteristik umum adalah daerah tertinggal dan terisolasi.

Studi terbaru Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) menunjukkan bahwa daerah dengan potensi surplus kurban terbesar masih didominasi daerah metropolitan Jawa, seperti Jakarta (9.905 ton) serta Bandung Raya yaitu Bandung, Cimahi dan Sumedang (6.355 ton). Daerah surplus kurban terbesar lainnya adalah Sleman dan Bantul (4.975 ton), Bogor, Depok, dan Sukabumi (2.381 ton), Surabaya dan Sidoarjo (1.952 ton), Tangerang Selatan dan Kota Tangerang (1.699 ton) dan Bekasi (1.012 ton).

Sementara itu wilayah dengan potensi defisit kurban terbesar didominasi daerah pedesaan Jawa. Wilayah tersebut yaitu pertama, Kabupaten Grobogan, Blora, Pati, Jepara, dan Demak (-2,623 ton), kedua, kawasan utara Jawa Timur, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (-2.484 ton), ketiga, kawasan timur Jawa Timur yaitu Jember, Bondowoso, Probolinggo, dan Pasuruan (-1.964 ton). Keempat, kawasan utara Jawa Tengah yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pema lang, Purbalingga, dan Pekalongan (-1.958 ton), kelima, Jombang, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Mojokerto, dan Kota Kediri (-1.849 ton). Keenam, Kabupaten Tangerang, Pandeglang, dan Lebak (-1.764 ton).

Rantai Pasok
Inilah ironis yang terjadi, di saat penduduk Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang lumrah mengonsumsi daging dan mendapatkan banyak daging kurban, di tempat lain masyarakat miskin justru jarang atau tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya memakan daging. Data dan fakta tersebut terjadi disebabkan lemahnya manajemen rantai pasokan (supply chain) ekonomi kurban pada tingkat hilir di Indonesia.

Secara sosial ekonomi kurban memiliki fungsi pemerataan dan keadilan. Tidak hanya secara langsung berupa pembagian daging kurban kepada masyarakat, tetapi juga melalui efek multiplier yang muncul. Dalam dimensi ekonomi, kurban menciptakan nilai ekonomi untuk entitas yang berpartisipasi langsung dalam rantai pasokan kurban, ataupun entitas yang terpengaruh side effect dari pelaksanaan kurban itu sendiri.

Namun, dalam praktiknya entitas-entitas yang terlibat dalam rantai pasok kurban saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Hubungan antarentitas tersebut pada dasarnya bersifat B2B (business to business). Beberapa pihak telah berusaha mengatasi isu ini.

Baznas melalui program Kurban Berdayakan Desa, misalnya, berupaya meningkatkan kesejahteraan para peternak lokal dengan mempersingkat supply chain kurban. Program ini mendorong perputaran ekonomi ke desa dengan membeli hewan kurban langsung dari peternak. Dengan cara ini, keuntungan peternak meningkat dan harga wajar untuk konsumen dapat ditekan.

Namun, tingginya keuntungan penjualan hewan kurban cenderung masuk ke kantong para pemilik modal (penjual musiman). Hal ini mereduksi argumentasi kurban dapat meningkatkan pemerataan pendapatan ekonomi umat. Untuk itu, dalam mengawal pelaksanaan kurban, entitas baru perlu dibentuk dengan beberapa fungsi, yaitu intermediary, pemberdayaan, dan pengawasan. Entitas ini berasal dari dua kalangan.

Pertama, entitas yang berada di bawah pemerintahan yang menjalankan ketiga fungsi tersebut sekaligus. Kedua, entitas yang berasal dari swadaya dan bertanggung jawab pada lembaga pemerintah. Diharapkan dengan adanya fungsi ini maka akan tersedia data yang masif dalam sistem kurban Indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan mengatur strategi pendistribusian hewan kurban dan pemberdayaan peternak.

Model seperti ini akan menciptakan dua aliran supply chain kurban, yaitu aliran program dan pemberdayaan dengan aliran informasi. Dampaknya, supply chain kurban akan menjadi lebih efektif dari beberapa sisi. Pertama, harga hewan kurban akan menjadi lebih murah. Andai pun harganya tidak berubah, tetapi kue ekonominya akan lebih banyak dinikmati oleh peternak bukan oleh pedagang seperti saat ini.

Kedua, akan menciptakan sistem peternakan yang lebih baik sehingga rantai pasokan hewan kurban akan lebih berkesinambungan. Ketiga, akan meningkatkan kesejahteraan hewan dengan adanya pelatihan dan pengawasan yang dilakukan. Dan yang terakhir, pemerataan dampak sosial ekonomi kurban akan lebih baik karena adanya perencanaan yang lebih matang serta strategi yang dilandasi oleh pendataan yang masif.

Jika hal ini bisa dijalankan maka akan menciptakan supply chain kurban yang ideal yang mampu memberikan dampak positif baik secara ekonomi maupun sosial tetapi tidak meninggalkan esensinya sebagai ibadah yang sakral. 

Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (Cesis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *