Sebanyak 3,29 juta masyarakat Indonesia aktif bermain judi online, menurut laporan tahunan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) 2023. Lebih miris lagi, sekitar 80.000 pemain judi online adalah anak-anak. Maraknya perjudian menjadi indikasi masalah dalam kesehatan mental, psikis, dan spiritual masyarakat.
Dari segi kesehatan fisik, data Badan Pusat Statistik (2024) menyebutkan 26,27% penduduk Indonesia memiliki keluhan kesehatan. Tingginya keluhan dan kasus penyakit sejalan dengan beban ekonomi penanganan penyakit. Sepanjang 2023, misalnya, BPJS Kesehatan melaporkan pembayaran klaim sebesar Rp158 triliun (Bisnis.com). Dari angka tersebut, Rp17,62 triliun dikeluarkan untuk klaim penyakit jantung, Rp5,97 triliun untuk kanker, Rp5,2 triliun untuk strok dan Rp2,91 triliun untuk gagal ginjal.
Untuk mengurangi beban ekonomi, urgensi mitigasi penyakit menjadi kian nyata. Laporan bertajuk Economics of non-communicable diseases in Indonesia (Bloom dkk., 2015) menunjukkan mahalnya beban ekonomi, khususnya penyakit tidak menular (PTM).
Termasuk kategori PTM adalah kardiovaskular (jantung koroner, strok), kanker, penyakit paru obstruktif kronik, diabetes, dan kondisi kesehatan mental. Mereka memperkirakan Indonesia telah dan akan menghabiskan US$4,47 triliun (setara Rp73.655 triliun) dari 2012 hingga 2030 untuk menangani PTM.
Dengan tren peningkatan beban PTM yang diperkirakan terus berlanjut, pemerintah dan pemangku kebijakan harus mengambil langkah konkret mengurangi beban ekonomi dan angka kematian akibat PTM.
Salah satu kebijakan pemerintah yang digunakan banyak negara untuk mendorong masyarakat agar hidup lebih sehat adalah kebijakan fiskal. Kebijakan ini dapat diterapkan pada sisi pendapatan negara (revenue) dan/atau pengeluaran (expenditure).
Pertama, kebijakan fiskal di sisi penerimaan dapat berupa pengenaan pajak atau cukai. Pajak dimaksud adalah pajak konsumsi tambahan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap barang atau jasa berbahaya sehingga konsumen menanggung beban harga yang lebih tinggi dan menjadi disinsentif bagi mereka.
Dengan harga yang lebih tinggi, mereka diharapkan mengubah perilaku dan beralih ke konsumsi yang lebih sehat.
Sementara itu, cukai merupakan pungutan tambahan untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang berdampak negatif bagi kesehatan. Pengenaan cukai menyebabkan peningkatan harga dibandingkan dengan barang konsumsi lainnya. Berbeda dengan pajak yang tujuan pengenaannya lebih umum, tujuan cukai biasanya lebih spesifik, yaitu mengendalikan penggunaan suatu barang.
Di antara produk yang konsumsinya perlu dikontrol termasuk tembakau, alkohol, dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Selain itu, di negara yang melegalkan judi, pajak dikenakan pada tiket lotre serta margin antara nilai cip yang dimainkan dan dikembalikan. Jika judi sudah ditetapkan sebagai ilegal seperti di negara kita, langkah fiskal tidak relevan karena tujuannya adalah pemberantasan, bukan lagi pengendalian. Terlebih, maraknya judi online mengakibatkan makin sulitnya pengenaan cukai.
Kedua, intervensi pemerintah di sisi pengeluaran dapat berupa subsidi ataupun earmarking. Ketika pemerintah belum mengenakan beban pajak tambahan atau cukai terhadap barang atau jasa yang membahayakan, ini sudah masuk kategori pemberian subsidi.
Hal ini karena biaya eksternal tidak dimasukkan dalam komponen harga. Sementara, ketika timbul dampak negatif, pihak lain dan pemerintahlah yang turut menanggung risikonya. Terkait earmarking, konsepnya adalah bagaimana pemerintah mengalokasikan dari pajak, cukai, atau sumber pendapatan tertentu untuk sektor kesehatan.
Misalnya, pendapatan dari cukai hasil tembakau dianggarkan untuk pencegahan dan perawatan penyakit terkait tembakau seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung. Dana dari cukai MBDK digunakan untuk penanganan obesitas, diabetes, dan PTM lainnya. Dana atau aset rampasan dari bandar judi online digunakan untuk rehabilitasi masyarakat yang terjerat, termasuk mitigasi bunuh diri.
Penerapan
Indonesia sudah menerapkan beberapa jenis pajak dan cukai atas produk dan layanan yang berdampak pada kesehatan. Sebagai contoh, barang kena cukai di Indonesia meliputi etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Di tingkat daerah, ada pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dan pajak hiburan sebesar 40%—75% khususnya atas jasa hiburan seperti diskotek, kelab malam, dan bar.
Atas sejumlah barang atau jasa yang telah dikenai pajak dan cukai, perbaikan yang mungkin masih diperlukan adalah bagaimana agar dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk tujuan pencegahan dan penanganan masalah kesehatan terkait.
Sementara itu, produk yang belum dikenai pajak tambahan atau cukai, misalnya MBDK, pengenaannya patut segera dipertimbangkan. Hal ini karena prevalensi obesitas dan diabetes tipe 2 di Indonesia kian mengkhawatirkan. Jika tidak ada intervensi, jumlah kasus diabetes diperkirakan naik dari 19,5 juta orang menjadi 28,6 juta orang pada 2045 (International Diabetes Federation, 2021).
Indonesia sudah di jalur yang benar dengan mengupayakan pengenaan beban tambahan atas barang dan jasa tidak sehat. Fokus ke depan adalah memastikan agar semua biaya dari aktivitas tidak sehat dapat masuk dalam komponen harga, serta bagaimana agar kebijakan efektif dan manfaat kebijakan bisa dinikmati oleh mereka yang terdampak.
Ismail Khozen
Manajer Riset Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia