Cerp-lechapus.net, JOGJA—Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat terjadinya lonjakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang paruh pertama 2024. Meski demikian, untuk wilayah Kota Jogja sejauh ini disebut belum ada lonjakan signifikan.
Dilansir dari berbagai sumber, berdasarkan data Kemenaker, jumlah pekerja yang terkena PHK sepanjang Januari-Juni 2024 totalnya sebanyak 32.064 orang, melonjak sebesar 21,4% dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni 26.400 orang.
Kabid Kesejahteraan dan Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Jogja, Pipin Ani Sulistiani, menjelaskan secara nasional, memang tetjadi lonjakan PHK. “Mungkin beberapa daerah mengalami gelombang PHK di sektor-sektor tertentu,” ujarnya, Senin (5/8/2024).
Adapun untuk Kota Jogja menurutnya sejauh ini tidak ada lonjakan signifikan. Ia mencatat jumlah PHK yang dilaporkan sejak Januari 2024 hanya 72 orang. “Untuk Kota Jogja landai-landai saja. Kalupun ada PHK, bukan PHK massal,” ungkapnya.
Ia melihat hal ini disebabkan perusahaan di Kota Jogja sebagian besar bergerak di sektor jasa, khususnya jasa pariwisata. “Sektor pariwisata tidak mengalami keterpurukan, bahkan kalau kita lihat cenderung mengalami peningkatan,” katanya.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya PHK, pihaknya secara intensif membina dan sosialisasi di perusahaan-perusahaan.
“Menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan baik kepada pekerja maupun pemberi kerja,” kata dia.
BACA JUGA: Mengatasi Keruwetan Sampah Rumah Tangga, Pemkab Sleman Bakal Tambah Satu TPST
PHK Terselubung
Walau minim catatan PHK, namun beberapa perusahaan ditengarai melakukan PHK dengan modus terselubung.
Hal ini seperti yang dialami Sinta, pekerja dari sebuah perusahaan swasta berpusat di Jakarta yang membuka kantor biro di Jogja.
Ia menceritakan modus PHK di perusahaannya dilakukan dengan meminta seluruh pekerja menandatangani surat pernyataan bermaterai yang isinya menyepakati kebijakan perusahaan baru dengan beban kerja lebih berat. “Kalau ga mau tanda tangan dianggap resign sukarela,” ungkapnya.
Kebijakan yang mengubah Key Performance Indicator (KPI) tersebut mulai disosialisasikan pada awal Juli lalu.
Pekerja yang menandatangani namun tidak mampu mencapai target KPI yang baru maka akan mendapatkan sanksi secara berkala. “Rincian KPI terlalu memberatkan pekerja, target yang ditetapkan sangat tidak masuk akal,” katanya.
Jika pekerja tidak menandatangani surat pernyataan tersebut, maka dianggap resign secara sukarela, sehingga mengakhiri masa kerjanya tanpa mendapatkan hak pesangon selayaknya pekerja yang terkena PHK. “Memang maksudnya pengin efisiensi pekerja tanpa perlu bayar pesangon,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News