Cerp-lechapus.net, JOGJA—Kualitas udara dan air di DIY semakin memburuk. Namun dalam analisis big data, masyarakat DIY belum sepenuhnya peduli pada pencemaran kedua unsur tersebut.
Analisis tersebut tertuang dalam laporan Perkumpulan Analis Resiko dan Penyelesaian Konflik (PARES Indonesia) bertajuk ‘Melihat Lebih Dalam: Big Data Ungkap Dampak Sampah terhadap Kualitas Udara dan Air’. Peneliti PARES Indonesia, Fandy Arrifqi, mengatakan kualitas udara dan air di DIY terus memburuk.
Jika dilihat dalam rentang satu tahun, terdapat tren penurunan kualitas udara. Tren penurunan kualitas udara di DIY menyebabkan peningkatan jumlah penderita penyakit pernapasan. Tidak hanya itu, kualitas air sungai di DIY juga semakin memburuk. Setidaknya terdapat tujuh sungai di DIY yang dikategorikan tercemar, yaitu Sungai Kuning, Sungai Gajahwong, Sungai Belik, Sungai Bedog, Sungai Konteng, Sungai Bulus, dan Sungai Oya.
BACA JUGA : DIY Dilanda Bediding, Waspadai 2 Penyakit Ini Menyerang Ternak
“Penurunan kualitas udara dan air di DIY disebabkan oleh masalah tata kelola sampah. Hal ini dapat dilihat dari data tingkat pencemaran udara DIY yang meningkat drastis saat TPST Piyungan ditutup. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah masyarakat yang membakar sampah,” kata Fandy, pada pertengahan Juli 2024 lalu.
Data juga menunjukkan terdapat peningkatan masyarakat yang membuang sampah di sungai. Kondisi itu menyebabkan menurunnya kualitas air sungai di DIY. Meski terdapat masalah air dan udara di DIY, namun warganet dan media berita di wilayah tersebut belum menaruh perhatian pada dua hal itu.
Hal ini terlihat dari minimnya jumlah cuitan dan artikel berita yang mengangkat isu pencemaran udara dan air di DIY. Selain itu, sangat sedikit masyarakat DIY yang menjadikan sungai sebagai sumber air minum. Kondisi yang mengakibatkan tidak adanya keterikatan dan ketergantungan masyarakat terhadap sungai. Sehingga tidak memunculkan kepedulian dari masyarakat terhadap kebersihan sungai.
Belum Dirasakan
Kurangnya perhatian masyarakat pada pencemaran air dan udara diduga karena belum merasakan secara langsung dampak nyatanya. Peneliti PolGov, Dias Prasongko, mengatakan dampak pencemaran udara dan air tidak merata dirasakan semua orang.
“Hal tersebut menyebabkan tidak adanya aksi kolektif masyarakat untuk merespon isu pencemaran udara dan air,” katanya.
Pengelola Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Sri Wahyuningsih, mengatakan harus ada pembangunan kepekaan dan kesepahaman yang sama. Masalah pencemaran udara dan air merupakan tanggung jawab bersama semua pihak. Sri beranggapan, pembangunan kepekaan dan kesepemahaman bisa berupa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Di samping itu, perlu juga ada pembiasaan yang bermula dari diri sendiri.
BACA JUGA : Fenomena Bediding di Jogja dan Sekitarnya Akan Berlangsung hingga Agustus Mendatang
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, juga merasa perlu adanya regulasi yang mengatur tata kelola sampah, sebagai salah satu penyebab pencemaran udara dan air. Menurutnya, regulasi dapat mengatur dan memaksa masyarakat untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi permasalahan sampah, seperti mengurangi penggunaan plastik dan memilah sampah.
Penyelesaian masalah sampah dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan darurat dan bisnis. “Dengan pendekatan darurat, pemerintah dapat menggunakan dana tak terduga untuk mengatasi masalah sampah. Di sisi lain, pendekatan bisnis digunakan supaya upaya penyelesaian masalah sampah dapat berorientasi bisnis dan menarik bagi pihak swasta,” kata Eko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News