Adopsi sumber energi terbarukan berbasis komunitas bisa menjadi salah satu strategi efektif untuk mendukung transisi energi berkeadilan. Bank Indonesia dapat mendukung inisiatif tersebut, salah satunya melalui indikator pengawasan perbankan seperti rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM), sehingga dapat memberikan insentif khusus bagi bank yang menyalurkan pembiayaan ke kegiatan pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas.
Indonesia menghadapi tantangan unik dalam pencapaian transisi energi berkeadilan. Pertama, akses listrik masih belum merata. Meskipun per akhir 2023 rasio desa berlistrik sudah mencapai 99,83% dan rasio elektrifikasi nasional sebesar 99,78%, secara absolut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan masih ada sekitar 185.000 rumah tangga di 140 desa di Papua yang belum memperoleh akses listrik. Transisi energi berkeadilan juga membutuhkan akselerasi dan pemerataan adopsi sumber energi terbarukan hingga ke wilayah desa yang paling terpencil sekali pun. Energi terbarukan berbasis komunitas berpotensi mendorong pencapaian sejumlah tujuan tersebut melalui pendekatan yang berbeda dengan adopsi level rumah tangga maupun skala besar.
Berbeda dengan program instalasi sumber energi terbarukan yang bersifat top down, konsep ‘berbasis komunitas’ menekankan kepemilikan bersama serta inisiatif dari warga, oleh warga, dan untuk warga (bottom-up). Bagi penduduk yang tinggal dalam satu kawasan, pembangunan satu sumber energi terbarukan berskala menengah yang dapat digunakan bersama-sama untuk mencukupi kebutuhan energi di kawasan tersebut, menawarkan pembagian risiko, biaya instalasi dan biaya perawatan sumber energi kepada para anggota komunitas secara bergotong-royong.
Hal ini berbeda juga dengan adopsi skala individu rumah tangga yang umumnya relatif berdampak kecil secara makro, tetapi menimbulkan biaya transaksi yang cukup besar bagi pelakunya. Di sisi lain, proyek energi terbarukan berskala besar umumnya terbentur isu penggunaan lahan yang signifikan dan pembangunan jalur transmisi jarak jauh untuk mencapai lokasi konsumen sehingga menimbulkan biaya tinggi. Hal ini justru kontras dengan kebutuhan listrik rumah tangga yang belum terelektrifikasi, yang sebagian besar masih berskala kecil hingga menengah dan berada di area terpencil.
Proyek energi berskala besar lebih cocok diterapkan untuk kawasan industri yang memerlukan listrik dalam jumlah besar. Pemerintah mengakui bahwa untuk mencapai rasio elektrifikasi 100% hingga 2025, dibutuhkan setidaknya Rp22,08 triliun. Angka tersebut belum memperhitungkan biaya transisi ke energi terbarukan hingga 2060 yang secara nasional diproyeksikan mencapai Rp16.264 triliun.
Sayangnya, saat ini mobilisasi sumber daya transisi energi masih terkonsentrasi pada inisiatif skala besar. Sejumlah program pembiayaan sindikasi senilai ratusan miliar hingga puluhan triliun rupiah telah diadakan untuk mendukung proyek PLN maupun sejumlah korporasi lainnya. Namun, hingga saat ini, belum ada program pembiayaan yang signifikan untuk energi terbarukan berbasis komunitas.
Berbasis Komunitas
Di Indonesia, telah ada inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas yang dipelopori oleh tokoh setempat. Salah satunya dilakukan oleh Nur Chanif, seorang guru SMK di Blora, dengan pendanaan yang berasal dari pemerintah desa dan provinsi. Namun sayang, sejauh ini penulis belum menemukan keterlibatan lembaga keuangan dalam kegiatan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, baik di Blora maupun di daerah lain.
Dengan demikian, Bank Indonesia harus segera mengambil peran besar agar Indonesia mampu mengejar ketertinggalan pembiayaan energi terbarukan berbasis komunitas. RPIM sebagai rasio pengawasan perbankan sangat berpotensi menjadi instrumen untuk mendorong pendanaan bagi pemerataan dan adopsi akses energi terbarukan berbasis komunitas.
Salah satu instrumen utama RPIM adalah pemberian insentif giro wajib minimum (GWM) bagi bank yang mampu menyalurkan pembiayaan inklusif dalam persentase tertentu terhadap nilai total kredit. GWM merupakan salah satu komponen pembentuk suku bunga kredit, dengan demikian bank yang mendapatkan insentif melalui RPIM dapat memberikan kredit dengan harga yang lebih kompetitif sehingga sama-sama menguntungkan, baik bagi bank maupun nasabah.
Oleh sebab itu, pembiayaan energi terbarukan berbasis komunitas seharusnya dapat dikategorikan sebagai pembiayaan inklusif. Namun, belum terdapat kategori maupun subkategori khusus dalam RPIM yang membahas energi terbarukan berbasis komunitas.
Monica Ratna
Peneliti Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia