Sport

False Hope Syndrome dan Kegilaan Judi Online

×

False Hope Syndrome dan Kegilaan Judi Online

Sebarkan artikel ini



Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengidentifikasikan perputaran dana sebesar Rp600 trilun di semester pertama 2024 terindikasi terkait dengan judi online, melibatkan 168 juta transaksi dengan 3,3 juta orang terlibat langsung di dalamnya.

Dengan keterlibatan orang sebanyak itu, tidak heran ketika Karopenmas Polri menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan populasi pemain judi online terbesar di dunia.

Mengapa sedemikian mudah virus judi online ini menjangkiti masyarakat kita? Perlu pemikiran dan kajian yang mendalam untuk mengupasnya. Satgas yang dibentuk tidak akan pernah berfungsi secara efektif untuk mencegah merebaknya judi online kalau tidak didasari dengan pemahaman holistik yang tepat atas permasalahan ini. Perlu kajian yang lebih mendalam selain pandangan umum bahwa keinginan dan harapan memiliki kekayaan secara instan yang dilatarbelakangi rendahnya literasi keuangan mengarahkan pilihan untuk mengakses perjudian secara online.

Harapan adalah energi kehidupan. Harapan merupakan kristalisasi dari dalam hati maupun pikiran tentang kepercayaan akan suatu keinginan. Teori Harapan yang kembangkan oleh CR. Snyder menyatakan individu dengan harapan tinggi cenderung menetapkan banyak tujuan, dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menentukan rute, dan alternatif, untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam kerangka teori ini, harapan yang tinggi berkaitan dengan konsep optimisme yang dipelajari dari berbagai situasi kehidupan. Memupuk harapan tinggi dibutuhkan untuk memiliki energi cukup dan mencoba Kembali, sembari menyesuaikan ke harapan yang lebih masuk akal.

Sindrom Harapan Palsu
Harapan sebagai energi kehidupan ternyata mengandung celah jebakan. Apa jadinya bila harapan besar tersebut ternyata tidak berdasar dan justru memabukkan? Inilah yang disebut sebagai harapan palsu dan jika sudah terjebak dalam mekanisme yang merusak bisa disebut sebagai sindrom harapan palsu (FHS).

FHS adalah keadaan ketika seseorang yang memiliki keinginan tinggi namun tidak diimbangi dengan usaha mencapai keinginan secara nyata, konsisten dan persisten. Sebaliknya, yang lebih dominan adalah pemikiran dan perasaan bahwa keinginan itu bisa dicapai dengan cepat seakan membalik telapak tangan.

Saat memulai sebuah upaya, ada optimisme besar dan bahkan diperkuat dengan kepercayaan diri yang berlebih. Upaya di awal mennjukkan kemajuan positif namun seiring dengan upaya lanjutan, rupanya hasil yang diperoleh semakin jauh dari ekspektasi. Pola ini rupanya justru digunakan dalam algoritma judi online.

Di tahap awal, selalu ada pemanis yang secara psikologis seakan memberikan kapastian akan hasil dan keberuntungan. Kegagalan di langkah lanjutan tidak pernah menjadi bahan evaluasi atas kegagalan tetapi justru memperkuat langkah yang sebenarnya semakin tidak realistis. Kontras antara perasaan kecewa karena kegagalan dan optimisme awal karena kesuksesan awal yang singkat, mungkin membuat mereka salah memahami penyebab kegagalannya.

Hal ini pada gilirannya menyebabkan mereka mencoba kembali tujuan yang tidak realistis dan melanjutkan siklus yang merusak ini. Siklus merusak inilah yang sangat membahayakan karena ini ibarat candu yang sangat sulit untuk dihentikan.

Meskipun dikaji berdasarkan pengalaman empiris maupun dibedah berdasarkan pemrograman digital terbukti bahwa pemain tidak akan pernah memenangkan perjudian, namun kesalahan memahami situasi dan kecenderungan berpikir irasional menyebabkan pelaku terus berada dalam jebakan. Jebakan yang jelas-jelas merusak.

Studi Seligman dan Musschenga memperkaya konteks FHS. Mereka mengatakan bahwa harapan palsu juga berkaitan dengan ketidaktahuan. Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae secara lugas malah mengatakan bahwa fenomena harapan palsu banyak terjadi pada pemabuk, orang yang bodoh dan tidak berpikir ( Summa Theologiae I–II, q.40, a.6).

Pernyataan ini sangat kasar sebenarnya, namun memang demikianlah kenyataannya. Ketidaktahuan ini merujuk pada konteks edukasi. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadikan Indonesia sasaran dari judi online.

Kemajuan teknologi saat ini memberikan tawaran lengkap apapun yang dipikirkan dan diinginkan. Layanan yang ditawarkan akan diterima semuanya oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan menyebabkan ketidakmampuan memfilter kemajuan teknologi tersebut. Peluang ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh provider judi online untuk ambil keuntungan dengan menargetkan Indonesia dan bukan negara-negara yang jelas-jelas memiliki bisnis kasino.

Ketegasan Regulator
Kanker sosial judi online berpotensi menghancurkan ekonomi masyarakat pada sendi-sendi vitalnya. Kita dipapari dengan berita penganiayaan, mutilasi dan hal-hal lain yang sangat mengerikan yang tidak terbayangkan terjadi pada keluarga dekat.

Kerugian finansial tidak bisa dipungkiri. Sudah jelas kerugian beruntun namun tetap mengeluarkan dana dengan harapan palsu keuntungan besar. Di mana pemerintah sebagai regulator? Tidak perlu didalilkan lagi bahwa perjudian adalah illegal di Indonesia. Langkah pemerintah membentuk Satgas Judi Online kembali dipertanyakan ketika PPATK tidak bungkam untuk mengungkap nama-nama besar yang terafiliasi dengan judi online ini. Lembaga ini memiliki data sahih melalui serangkaian tracing transaksi perbankan yang terelasi dengan transaksi internasional. Data sebenarnya sudah tersedia lengkap. Tarik ulur pengungkapan dan penindakan jelas-jelas berkaitan dengan keberadaan orang-orang “kuat” di belakangnya.

Kita menunggu ketegasan pemerintah atau kita akan menyaksikan negara ini akan runtuh dengan kikisan tindakan ekonomi yang irrasional. Tentu bukan pilihan untuk melihat kehancuran ekonomi negara kita. Dengan segala resiko yang mungkin dihadapi, kita tidak akan rela mengorbankan kehidupan kita hanya untuk harapan palsu.

A. Totok Budisantoso
Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UAJY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *