Cerp-lechapus.net, JOGJA—Film Sinema Black Magic (2022) mencoba menggambarkan behind the scene industri film di Indonesia. Selalu ada pertentangan untuk membuat film yang memang sineas inginkan, atau laku di pasaran.
Dalam memproduksi sebuah film agar nantinya sukses, apakah perlu mengikuti selera pasar, atau justru filmmaker yang menciptakan pasar? Obrolan itu salah satu bagian dalam film pendek Sinema Black Magic. Kecap (Eka Wahyu) yang merupakan sutradara sekaligus penulis naskah ingin membuat film yang memang bisa membagikan gagasan dan keresahan. Sementara Kipli (Aryudha Fasha), produser sekaligus teman Kecap, lebih ingin filmnya laris, banyak yang nonton. Sehingga film dirasa perlu mengikuti selera penonton.
Termasuk dalam produksi film terbaru Kecap dan Kipli yang berjudul Micro Cosmos, pertentangan itu kembali muncul. Saking putus asanya dengan kegagalan film-film terdahulu, Kipli sampai meminta bantuan dukun dan perempuan. Dukun bertugas membuat proses syuting lancar dan nantinya penonton mau datang ke bioskop. Sementara pemain film perempuan, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat masuk ke cerita, digunakan untuk memikat para penonton dengan ‘penyegaran’ di layar.
“Ini namanya strategi,” kata Kipli.
Dengan bantuan dukun dan eksploitasi perempuan ini, apakah film Micro Cosmos akan laku di bioskop kampung tempat tinggal Kecap dan Kipli? Kamu bisa menemukan jawabannya di film Sinema Black Magic yang sudah tayang di YouTube Onomastika Films. Loeloe Hendra merupakan sutradara film berdurasi 20 menit tersebut. Sebelumnya, Loeloe merupakan pemenang penghargaan Festival Film Indonesia tahun 2014 kategori film pendek melalui film Onomastika (2014).
Untuk Teman Makan
Tidak ada rumus pasti suatu film bisa sukses. Meniru cara produksi dan pemasaran film yang sudah ditonton jutaan orang pun belum tentu cocok untuk film lain. Apabila ada rumus pasti kesuksesan sebuah film, maka bisa dipastikan semua film akan sukses.
Justru ini magic dan gaibnya suatu karya. Ada film yang berusaha komersil dengan mengikuti selera penonton, ternyata tidak laku. Ambil contoh film superhero Ant-Man and the Wasp: Quantumania (2023). Jumlah penonton tidak sebanding dengan biaya produksi film tersebut. Padahal pasar film superhero besar. Biaya produksi film tersebut sekitar 600 juta dolar Amerika Serikat (AS), sementara pendapatannya hanya 476,1 juta dolar AS di seluruh dunia.
Di sisi lain, ada film yang pada awalnya diperuntukkan untuk memberi makan idealisme, ternyata bisa sukses. Misalnya film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) karya Yandy Laurens dan A Copy of My Mind (2015) karya Joko Anwar. Sedari awal produksi, filmmaker kedua karya tersebut mengatakan tidak menargetkan penonton yang banyak. Namun justru hasilnya mengejutkan.
A Copy of My Mind bisa mendapatkan lebih dari 50.000 penonton. Dibandingkan dengan biaya produksi yang hanya Rp250 juta, jumlah penonton ini tergolong angka yang bagus. Bahkan film tersebut mendapat penghargaan di FFI dan tayang di festival-festival luar negeri.
Begitupun dengan film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang mendapat penonton lebih dari 650.000 orang. Film hitam putih yang sering mendapat keraguan ternyata bisa menarik sebegitu banyak penonton.
Perdebatan semacam ini, yang berada di ranah pembuat film, yang coba Sinema Black Magic gambarkan. Meski pergerakan cerita banyak berasal dari obrolan dua karakter, nuansa yang terbangun tidak membosankan. Perpindahan latar tempat serta persinggungan dengan karakter lain menjadi variasi yang pas.
Pembahasan tentang idealisme dan selera pasar yang bisa jadi tema berat, bisa mengalir dan terasa ringan. Durasi dan pembahasan yang ringan membuat film ini cocok untuk teman makan. Dalam sekali duduk dan sekali makan, penonton sudah paham dengan maksud film yang to the point.
Bagi pecinta suasana alam yang asri, film yang berlatar di Sendangmulyo, Minggir, Sleman, juga bisa menyegarkan mata. Unsur Jogja cukup kental, dengan ekstras dan detail seperti jalan, gang, dan bangunan rumahnya.
Sayangnya, belum ada keresahan yang bisa ditularkan pada penonton. Belum ada penggambaran urgensi si Kecap dan Kipli perlu membuat film terbarunya laris. Tidak tergambarkan dampak semisal bangkrut atau sejenisnya. Jadi penonton mungkin berpikir, “Terus kalau enggak laku dampak konkretnya apa?”
Cerita Micro Cosmos yang sedang Kecap dan Kipli produksi juga tidak jelas bercerita tentang apa. Semisal Micro Cosmos merupakan proyek idealisme dan keresahan dari Kecap sebagai penulis dan sutradara, mungkin ceritanya juga bisa sejalan dengan itu.
Fenomena Film Indonesia
Sejak belajar film di bangku kuliah, sutradara Sinema Black Magic, Loeloe Hendra selalu mendengar keresahan yang sama dari pembuat film. Pembuat film di Industri selalu mencari cara untuk menarik perhatian penonton hingga film mereka bisa laku di pasaran.
Sudah banyak formula yang sineas coba terapkan. Namun tidak sedikit yang gagal memenuhi ekspektasi. “Dari kenyataan tersebut, saya mencoba merangkum situasi yang tak pasti ini dalam sebuah cerita komedi tentang dua orang sahabat yang begitu mencintai film dan bertekad hidup hanya untuk film,” kata Loeloe.
Melalui cerita ini, Loeloe berharap bisa berbagi dan menggambarkan fenomena Industri film di Indonesia, terutama dalam bentuk cerita. Lebih jauh, penggambaran dalam film bisa menjadi refleksi atas situasi dan kondisi perfilman di Indonesia.
Bagi Loeloe, film pendek adalah sarana untuk menyalurkan kegelisahan. Film pendek bisa menjadi pencatat sejarah atas segala situasi yang ada tanpa adanya intervensi dan juga bisa steril dari segala kepentingan. “Film pendek ini bagi saya adalah bentuk ungkapan kejujuran saya untuk merekam segala hal yang terjadi di film Indonesia,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News